Latar Belakang
Krisis Kamboja 1970
Konflik Kamboja pada tahun 1970 merupakan masalah yang dapat ditelusuri sejak awal bekiprahnya Sihanouk dalam menjalankan politik luar negerinya. Sihanouk berkuasa sejak Kamboja merdeka dari penjajahan Perancis pada tahun 1954 dalam bentuk monarki. Dalam kebijakan politik luar negerinya, Sihanouk mengarahkan Kamboja untuk bersikap netral.
Sikap netral yang diambil dimaksudkan untuk merespon sistem internasional yang bipolar, di mana terjadi kecenderungan penyebaran hegemoni oleh dua kubu besar yang saling bertentangan ideologi yaitu blok barat dan timur. Tujuan dari kenetralan ini adalah menciptakan perdamaian bagi bangsa dan negaranya, terutama karena perebutan hegemoni terjadi pada negara tetangganya yaitu Vietnam, maka dengan tidak ikut peperangan antara Vietnam utara yang dibantu oleh Cina dan Uni Sovyet dengan Vietnam Selatan yang dibantu oleh Amerika Serikat, Kamboja dapat menjaga stabilitas nasionalnya. Bahkan pada tahun 1955, Kamboja sempat ikut mensponsori konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia.
Perkembangannya kemudian pemerintah Sihanouk dapat dikatakan cenderung untuk bersikap lebih bersahabat kepada pihak Beijing. Hal ini dapat dilihat dari kebijakannya yang menguntungkan pihak komunis, setidaknya menurut Marsekal Lon Nol. Ia tidak setuju dengan kebijaksanaan Sihanouk yang memberi keleluasaan dan peluang pada Khmer Merah yang Komunis dan Pro Peking sehingga dapat menguasai pemerintahan dan militer. Selain daripada itu, menurut Lon Nol, Sihanouk pun tidak bisa mempertahankan kenetralannya lagi terutama dalam perang Vietnam. Dalam hal ini Sihanouk ternyata telah memberi kesempatan bagi Vietnam utara untuk mempergunakan wilayah Kamboja guna menyerang Vietnam Selatan. Hal-hal tersebut di atas yang dijadikan alasan bagi Lon Nol mengambil alih pemerintahan, ketika Sihanouk sedang melawat ke RRC dan Uni Sovyet, 9 Oktober 1970.
Di bawah pemerintahan Lon Nol, bentuk negara kerajaan Kamboja di ubah menjadi Republik dengan Lon Nol sebagai Presiden Republik Kamboja dan Son San sebagai Perdana Menterinya. Pemerintahan Lon Nol mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat, karena itu secara terang-terangan politik Lon Nol menentang Komunis. Di kemudian hari, Lon Nol mengijinkan Kamboja digunakan sebagai pangkalan militer Amerika Serikat.
Pada masa itu ada tiga peristiwa penting yaitu,
Politik Luar Negeri Indonesia pada awal orde baru
Pada awal pemerintahan Suharto, Indonesia mencoba untuk kembali pada orientasi umum yang sudah dicanangkan pada awal kemerdekaannya, yaitu pada Undang Undang Dasar 1945 dan orientasi bebas aktif yang pernah dicetuskan oleh Moh. Hatta. Dalam konteks strategi merespon sitem bipolar, Indonesia mencoba untuk konsisten pada prinsip-prinsip Gerakan Non Blok.
Bagi pemerintahan Suharto, hal-hal di atas perlu ditegaskan kembali, mengingat menurutnya pada pemerintahan Sukarno telah terjadi penyelewengan kontitusional yang antara lain menyebabkan berbagai peristiwa pemberontakan, dan yang terparah adalah pemberontakan oleh Komunis. Orientasi ini berguna untuk mencapai kembali posisi dan kredibilitas Indonesia di mata internasional, terutama setelah banyak kecaman datang karena politik luar negeri yang dijalankan oleh Sukarno. Antara lain, politik konfrontasi, dan keluarnya Indonesia dari PBB.
Mungkin karena pemerintahan Suharto banyak mencurahkan perhatian pada pemulihan situasi dalam negeri sejak peristiwa 1 Oktober 1965, yang disusul dengan pergantian pimpinan kekuasaan pemerintahan, maka politik luar negeri belum banyak diperhatikan kecuali mengacu pada strategi menjaga stabilitas nasional. Dapat diidentifikasi bahwa kepentingan untuk mencegah erosi politik (dalam hal ini Suharto mengemukakan teori domino) demi menjaga stabilitas nasional merupakan aspek pelaksanaan strategi utama politik luar negeri Indonesia pada saat itu yaitu menjaga stabilitas nasional dari ancaman luar.
Babarapa yang menarik untuk dikemukakan dari situasi pengambilan keputusan pada waktu itu adalah seperti yang dikemukakan oleh Michael Leifer:
"Yang menonjol ialah bahwa pragmatisme lebih mengedepan daripada kebijaksanaan yang diucapkan dan pembangunan ditempatkan di atas prioritas peranan kawasan. Akibat yang menyertainya ialah kesediaan pihak militer yang mendominasi pemerintahan untuk menghormati pentingnya kalangan sipil…… Walaupun untuk tujuan-tujuan praktis kebijaksanaan luar negeri merupakan sasaran kontrol penguasa militer, suatu wajah sipil diperlihatkan ke dunia luar karena pentingnya memulihkan kepercayaan internasional. Menteri Luar Negeri Adam Malik adalah seorang sipil, sedangkan seorang cendekiawan terkemuka Soedjatmoko memangku jabatan diplomatik kunci sebagai duta besar Indonesia di Washington. Keadaan seperti ini menyebabkan timbulnya ketegangan di dalam birokrasi dalam hal pembuatan kebijaksanaan luar negeri, dan khususnya, mengenai persaingan menjadi perhatian dan kewenangan Presiden Suharto."
Kebijaksanaan Bantuan Militer Indonesia untuk Kamboja.
Sebelum Lon Nol mengambil alih kekuasaan pemerintahan di Kamboja, ia telah mengirimkan beberapa perwiranya ke Indonesia karena terkesan oleh pengambilalihan kekuasaan dari Sukarno oleh Angkatan Darat Indonesia. Tercatat sebuah tim berisi perwira secara rahasia mengunjungi Indonesia pada bulan November 1969 dan pengiriman yang kedua pada Januari 1970, dengan misi obyektifnya mempelajari secara mendalam bagaimana Angkatan Darat menyingkirkan Presiden Sukarno. Dari kunjungan tersebut terjalin hubungan khusus antara angkatan bersenjata Kamboja dengan petinggi militer Indonesia.
Pada bulan April 1970, dilaporkan bahwa sebuah misi militer Indonesia berada di Phnom Penh, untuk mempertimbangkan permintaan Kamboja akan bantuan militer. Hal ini mungkin menjawab permintaan Lon Nol akan bantuan militer kepada negara yang bersahabat termasuk Indonesia. Kemudian pada akhir Mei 1970, dilaporkan bahwa utusan khusus Lon Nol berada di Jakarta untuk pembicaraan khusus dengan Presiden Suharto mengenai bantuan persenjataan. Pemikiran mengenai partispasi militer Indonesia dalam konflik Kamboja di dukung oleh Harian Angkatan Bersenjata : Jelas Indonesia tidak akan berkeberatan untuk mengirimkan kontingen militer ke Kamboja, apabila diminta oleh organisasi Internasional seperti International Control Commission.
Hubungan yang dijalin oleh pihak militer Indonesia dengan pihak angkatan bersenjata Kamboja mempunyai kepentingan tersendiri yaitu, keinginan untuk mengalihkan persediaan senjata kuno Indonesia kepada Kamboja sebagai bagian dari suatu paket pengaturan dalam mana Amerika Serikat akan mengganti senjata kuno Indonesia tersebut dengan senjata modern M16. Kepentingan ini kemudian dikejar ketika Kamboja menjadi panggung perang tambahan setelah penggeseran Pangeran Norodom Sihanouk.
Memang tidak ada bukti yang valid mengenai pengiriman senjata oleh pemerintah Indonesia kepada pihak yang berkuasa di Kamboja (Lon Nol), yang ada adalah penyangkalan secara konstan keterlibatan Indonesia oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik. Walaupun begitu Michael Leifer menyebutkan : "Peranan Militer Indonesia sampai pada pengiriman suatu misi penasihat militer dan perlengkapan secara simbolik pada bulan April. Sesudah itu, beberapa perwira Kamboja dilatih di Indonesia."
Alasan mengapa tidak ada peranan militer yang aktif dilakukan adalah karena Adam Malik berhasil meyakinkan Presiden Suharto - yang sepenuhnya sadar akan kesukaran-kesukaran praktis yang bakal timbul dari cara intervensi militer dan akan risiko politik yang menyertainya - bahwa manfaat lebih besar dapat diperoleh dari mengadakan konferensi internasional untuk menarik perhatian dunia terhadap situasi di Kamboja.
Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana politik Luar Negeri Indonesia pada krisis Kamboja pada tahun 1970, mengingat terjadi kontradiksi policy antara pihak militer dengan pihak Kementrian Luar Negeri, yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap persepsi dunia luar mengenai sikap Indonesia. Selain itu kebijakan manakah yang paling tepat dalam mengakomodasi kepentingan nasional Indonesia juga memenuhi orientasi umum Politik Luar Negeri Indonesia pada saat itu.
Analisis Politik Luar Negeri
Melalui kerangka Rossenau mengenai politik luar nergeri sebagai orientasi umum, strategi dan suatu set dari implementasi, penulis mencoba menganalisis kebijakkan Republik Indonesia pada masalah konflik di Kamboja.
Pada tingkat orientasi umum tidak ada yang berubah dari orientasi umum pemerintahan Sukarno, yaitu mengacu pada Undang Undang Dasar 1945, dan arahan politik bebas aktif yang dimunculkan oleh Moh. Hatta. Hanya pada tingkat strategi dan implementasi oleh pemerintahan Sukarno sering tidak konsisten dengan orientasi umumnya. Untuk mensahkan tindakannya, Sukarno sering mengeluarkan sendiri interpretasinya terhadap orientasi umum, sedangkan pada masa Suharto orientasi umum baru terlihat efektifitasnya setelah kita mengindentifikasi strategi dan implementasi politik luar negeri kita dalam konflik Kamboja 1970. Tetapi akan muncul pertanyaan apakah cukup dengan melihat peristiwa tahun 1970 saja, yang merupakan bagian dari set implementasi? Walaupun demikian akan dicoba untuk menelusuri keterkaitan antara tiga komponen politik luar negeri ini.
Berkaitan dengan politik bebas aktif, Suharto mengungkapkan pandangannya, "Bagi Indonesia, kebijaksanaan luar negerinya yang non blok tidaklah identik dengan ketidakterlibatan. Itulah sebabnya mengapa Indonesia lebih suka menyebutnya sebagai kebijaksanaan luar negeri yang bebas aktif karena bagi kita kebijaksanaan luar negeri tidaklah mandul, bukanlah benda mati atau pasif. Kebijaksanaan Luar Negeri Indonesia adalah bebas dalam artian bahwa Indonesia bebas dari segala ikatan apapun, baik itu militer, politik, maupun ideologis sehingga Indonesia sungguh bebas mengevaluasi setiap persoalan atau kejadian tanpa pengaruh apapun dari segala ikatan militer, politik, dan ideologis."
Pada tingkat strategi dapat ditelusuri hal-hal yang mempengaruhinya di luar orientasi umum, misalnya pengalaman Indonesia dengan pemberontakkan Komunis, pengalaman dengan pemberontakan-pemberontakan lainnya dan pengalaman Indonesia dalam hubungan luar negerinya, antara lain konfrontasi dengan Malaysia, keluar dari PBB. Selain itu orientasi terhadap pembangunan domestik juga mempengaruhi strategi Politik Luar Negeri Indonesia, seperti kepentingan akan stabilitas nasional terutama dalam konteks keamanan kawasan (setidaknya menurut persepsi militer), dan yang ini tampaknya merupakan acuan strategi utama dalam politik luar negeri Indonesia. Sedangkan bagi kalangan sipil (menteri luar negeri) melihat bahwa pemulihan kredibilitas Indonesia adalah yang utama.
Masalah utama adalah pada tingkat implementasi, yaitu kebijakan manakah yang dihasilkan oleh pemerintah RI dalam konflik Kamboja ini? Karena baik pihak militer dan menteri luar negeri yang berbeda pendapat tidak mendapat wewenang penuh untuk mengatasnamakan Indonesia hingga Suharto berbicara pada konferensi mengenai Kamboja. Sedangkan peneliti seperti Leifer dan Josef Silverstein melihat bahwa kedua-duanya merupakan kebijakan politik Indonesia. Militer pada saat tertentu memegang peranan dan menteri luar negeri pada saat yang lain memegang peranan.
Maka akan lebih baik kita lihat secara terpisah kebijakan yang didominasi peranan militer dengan kebijakan yang dipengaruhi oleh Adam Malik. Militer sangat berpengaruh pada saat sebelum pengambil alihan pemerintahan di Kamboja hingga usaha pengiriman senjata dan perlengkapan, Adam Malik berpengaruh besar untuk menyangkal dan kemudian memulihkan kredibilitas Indonesia di mata internasional dengan jalan mengusulkan konferensi mengenai konflik Kamboja. Dari pemisahan di atas dapat kita telusuri bahwa telah terjadi pergeseran strategi politik luar negeri Indonesia pada tahun 1970.
Kesimpulan
Pada awal orde baru tampak sekali bahwa pemerintah Indonesia masih mencari format bagi politik luar negerinya, meskipun pemikiran-pemikiran idealis yang merupakan orientasi umum sudah tersedia sejak Indonesia merdeka. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh dominasi militer dalam pemerintahan awal orde baru.
Pada keterlibatan Indonesia di Kamboja, tampak bahwa militer mempunyai jalur tersendiri dalam mengakomodasikan kepentingannya. Dan menteri luar negeri harus berjuang terlebih dahulu untuk meyakinkan Suharto mengenai strategi yang ada dalam pemikirannya. Pada saat itu pemikiran politik luar negeri Indonesia cenderung pragmatis.
Krisis Kamboja masih berlanjut sampai saat ini, tetapi bagi politik luar negeri Indonesia saat itu merupakan babak baru terutama dalam merumuskan strategi.
Daftar Pustaka