Pendahuluan
Pembicaraan mengenai pembangunan pada umumnya menyinggung masalah mental, entah itu yang `membahas pejabat, ilmuwan, mahasiswa, ataupun buruh. Sepertinya masalah mental telah menjadi akar dari segala permasalahan yang muncul dari pelaksanaan pembangunan. Hal ini tercermin juga pada kelas Pemikiran Politik Indonesia, dengan adanya pendapat-pendapat bahwa masalah krusial yang harus mendapat prioritas dari setiap pelaksana pembangunan adalah masalah mental dari bangsa Indonesia, juga dengan adanya usaha-usaha pengindentifikasian dan pemikiran-pemikiran ideal mengenai mentalitas bangsa Indonesia. Meskipun banyak mahasiswa memunculkan banyak pemikiran ideal mengenai mental bangsa, ada juga mahasiswa yang mengkritik para pemikir ideal tadi, "ngomongin mental orang lain tidak akomodatif dengan pembangunan, tapi dirinya sendiri bermental baru akan mengemukakan pendapat bila namanya disebut dosen".
Masalah-masalah pembangunan yang sering menjadi topik pembicaraan berbagai kalangan yang berkompeten adalah masalah sekitar pembangunan politik, pengentasan kemiskinan, kesenjangan sosial, pemerataan hasil pembangunan, pinjaman luar negeri, kebocoran dana pembangunan, korupsi, dan arah pendidikan. Sebagian dari masalah-masalah di atas sudah ada atau sudah tercium gejalanya sejak orde baru lahir, tetapi sebagian lagi baru mencuat menjadi perhatian masyarakat luas akhir-akhir ini. Berbagai macam perspektif umumnya menyoroti mental dari para pelaku yang dianggap menjadi penyebab utama munculnya masalah. Para pengusaha kecil dan mahasiswa menyoroti mental pejabat yang korupsi, ilmuwan menyoroti mental petani yang dibodohi tengkulak, pejabat menyoroti mental demonstran, dan banyak lagi sehingga masalah mental bangsa ini menjadi sangat rumit dan kompleks. Dibutuhkan berbagai alternatif pendekatan untuk menjelaskan fenomena mental tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk mendekati melalui pendekatan sistemik. Mulai dari pengenalan terhadap sistem mental yang holistik, identifikasi bagian dari sistem mental, dan batasannya, pemikiran mental pembangunan yang ideal. Disamping itu diuraikan juga mengenai pemeliharaan sistem pembangunan mental yang dinamis terarah.
Pendekatan Sistemik dan sistem mental
Sebuah sistem diyakini oleh para ahli mempunyai ciri pokok sebagai berikut: merupakan keseluruhan (gestalt), mempunyai bagian-bagian (obyek yang menyusun sistem), bagian-bagian dari suatu sistem saling berkaitan dan mempunyai ikatan, sistem bekerja untuk mencapai tujuan tertentu. Pengertian kata sistem sendiri secara harafiah adalah "menempatkan bersama-sama". Karena sistem bekerja untuk mencapai tujuan tertentu maka sebuah sistem selalu dinamis dan terarah. Juga berarti sistem merupakan proses konversi, atau proses input yang kemudian menghasilkan output, dan karena terarah, maka sistem juga mempunyai mekanisme umpan balik yang selalu mengkontrol arah dari proses sebuah sistem. Sebuah sistem berada dalam lingkungan yang dapat saja mempengaruhi proses yang terjadi dalam sistem.
Pemahaman terhadap sistem mental perlu mengenal terlebih dahulu apa yang disebut sikap mental, mentalitas dan nilai budaya. Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat. Terdiri dari konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Biasanya sistem nilai budaya mempunyai fungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Jadi sistem-sistem tatalaku manusia lain yang tingkatnya lebih kongkrit terwujud dalam bentuk aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma yang semuanya berpedoman kepada sistem nilai budaya itu.
Sikap mental adalah suatu disposisi atau keadaan mental di dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya. Sikap ini biasanya dipengaruhi oleh nilai budaya. Dan sering juga bersumber kepada sistem nilai budaya.
Istilah mentalitas bukanlah suatu konsep dengan definisi yang ketat. Istilah ini adalah istilah sehari-hari danbiasanya diartikan keseluruhan isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menghadapi atau menanggapi lingkungannya. Sedangkan arti mental secara leksikal adalah isi dari alam pikiran dan alam jiwa manusia.
Sistem mental bangsa Indonesia adalah sistem yang mempunyai bagian-bagian yang berupa macam-macam mental manusia Indonesia, dan batasan dari sistem ini adalah manusia indonesia, berarti juga di luar itu adalah lingkungan dari sistem. Menurut Koentjaraningrat, seorang antropolog, sikap mental kita bersumber pada sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu, karena revolusi dan perubahan-perubahan sosial yang dialami bangsa Indonesia, muncul sikap-sikap mental baru, yang bersumber pada ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas. Tetapi pendapat Koentjaraningrat tidak didasari oleh penelitian empiris, sehingga pandangannya dianggap dimunculkan dengan maksud agar kita berusaha mengatasi, mengurangi, menghilangkan sifat-sifat yang dianggap merupakan penghalang proses pembangunan. Penelitian sederhanan dilakukan oleh Prof. A.S. Munandar yang hasilnya menunjukkan betapa sangat beragamnya mental manusia Indonesia, maka dapat kita simpulkan bahwa bagian dari sistem mental kita ini sangat beragam sesuai dengan keanekaragaman budaya yang dimiliki bengsa ini. Nilai budaya tidak lagi berbeda hanya karena faktor tempat asal, tapi juga profesi, religi, dan teknologi, misalnya. Karena keberagamannya maka pengindetifikasian sikap mental dari bangsa Indonesia yang tidak melalui penelitian empiris dan hanya untuk memenuhi satubagian dari tujuan (pembangunan), seperti yang dilakukan oleh Koentjaraningrat (juga pernah dilakukan Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia, sebuah pertanggungjawaban) akan menimbulkan kontroversial yang tidak perlu dan memperlarut usaha-usaha pengindetifikasian secara empirik.
Mentalitas Bangsa Indonesia
Setiap kali kita berbicara mengenai mentalitas bangsa, kita harus memperhatikan apakah kita berbicara mental partikularistis atau mental bangsa (universalistis). Kita tidak bisa melihat/menjudge mental manusia jawa atau seniman dangdut mewalkili mental bangsa Indonesia. Jadi untuk mengetahui mentalitas bangsa, perlu diadakan penelitian secara empirik yang menyeluruh (selama ini belum pernah dilakukan) misalnya mendompleng sensus kependudukan. Suatu hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Walaupun demikian, ada baiknya kita tetap juga memperhatikan pendapat yang sudah ada mengenai mentalitas bangsa.
Koentjaraningrat mengatakan bahwa mentalitas bersumber pada sistem nilai budaya, dengan menggunakan kerangka Kluckhon, ia mengungkapkan adanya dua golongan besar mentalitas, yaitu mentalitas masyarakat kota dan mentalitas masyarakat desa. Menurutnya orang desa bekerja keras untuk makan. Orang desa mempunyai orientasi hidup ditentukan oleh kehidupan masa kini. Orang hidup harus selaras dengan alam. Dalam hubungannya dengan sesamanya orang tani menilai tinggi, konsep sama rata sama rasa. Gotong royong mempunyai nilai yang tinggi. Hal ini menyebabkan sikap mereka menjadi sangat konformistis (diharapkan orang menjaga agar jangan dengan sengaja berusaha untuk menonjol di atas yang lain).
Orang kota (mentalitas priyayi Jawa) beranggapan, bahwa manusia bekerja untuk mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan lambang-lambang lahiriah dari kemakmuran. Orientasi waktunya lebih ditentukan oleh masa lampau. Mereka terlalu banyak menggantungkan dirinya pada nasib. Dalam hubungan dengan sesamanya, orang kota amat berorientasi ke arah atasan, dan menunggu restu dari atas.
Gambaran di atas menurut Koentjaraningrat merupakan sikap mental yang sudah lama mengendap dalam pikiran kita, karena terpengaruh atau bersumber pada sistem nilai budaya kita sejak beberapa generasi yang lalu yang terkondisi sedemikian rupa sehingga bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Sedangkan setelah revolusi, mentalitas bangsa Indonesia bersumber pada kehidupan ketidakpastian, tanpa pedoman dan orientasi yang tegas. Hal ini disebabkan karena keberantakkan ekonomi dan kemunduran-kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan sosial budaya. Mentalitas ini mempunyai kelemahan:
Penelitian lain juga dilakukan oleh Arianti Panchadewa dan Inanda Murni dan tim fakultas Psikologi UI bekerjasama dengan LEKNAS (1977). Ada kesamaan yang selalu tampil dalam setiap penelitian di atas, yaitu kecenderungan yang kuat akan orientasi vertikal, kecenderungan untuk menggantungkan diri pada atasan, di mana atasan lebih cenderung dilihat sebagai bapak (sistem manajemen benevolent authoritative). Kesimpulan ini menguatkan pandangan Koentjaraningrat. Pandangan yang berbeda atau saran harus diajukan dengan menunjukkan sikap yang tetap menghormati dan dalam kata-kata yang tak akan menimbulkan sakit hati pada atasan, sehingga bawahan tak dianggap tak sopan oleh atasan.
Munandar melihat bahwa manusia pembangun Indonesia perlu memilki suatu sistem nilai yang mendasari, mempedomani, dan mengarahkan perilakunya sehari-hari, perilakunya dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan produktif, ia juga melihat bahwa Ekaprasetya Pancakarsa yang merupakan code of conduct atau dasar pedoman perilaku manusia Indonesia pada umumnya perlu disoroti lebih lanjut. Berikut ini adalah pendapat Koentjaraningrat berdasarkan kerangka nilai dari Kluckhon: "Suatu bangsa yang hendak mengintensifkan usaha untuk pembangunan harus berusaha agar banyak dari warganya lebih menilai tinggi orientasi ke masa depan, dan demikian bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan; lebih menilai tinggi hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas berinovasi; lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya dan akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuannya sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggungjawab sendiri".
Pitirim Sorokin mengemukakan teori bahwa kehidupan soiso budaya diresapi dan disebabkan oleh mentalitas, yaitu ideational (peka bagi nilai-nilai spiritual, spekulatif), sensate atau inderawi (mementingkan nilai-nilai material dan empiris), dan diantara kedua ekstrim itu 'mentalitas campuran'. Kalau saya boleh menambahkan satu tipe lagi yaitu mentalitas senyawa (istilah kimia) yang tersusun dari kedua ekstrim tadi (ideational dan sensate) tetapi mempunyai karakter yang berbada dari karakter asalnya. Apabila kerangka ini digunakan untuk mengindetifikasikan mentalitas bangsa Indonesia, maka saya yakin semua tipe akan ditemukan berlaku dalam masyarakat Indonesia yang sangat plural ini.
Sistem Pembangunan Mental
Adalah baik untuk menerapkan usaha pembangunan mental dalam sebuah sistem . Sebuah sistem pembangunan mental adalah sistem yang mempunyai bagian-bagian yang merupakan segala jenis usaha pembangunan mental yang sudah diseleksi oleh batasan-batasan tertentu; yang dapat berupa norma-norma; yang diikat dan berperangkat manusia pelaksana yang mempunyai tujuan yang sama yaitu tercapainya tujuan dari sistem yang berupa terbentuknya nilai budaya yang menjadi orientasi dari perilaku manusia. Selalu ada feedback dari sistem ini (output yang kembali menjadi input) yang merupakan stimuli terhadap awal proses.
Dalam konteks Indonesia, bagian dari sistem itu merupakan usaha-usaha pembangunan mental yang diseleksi oleh norma Pancasila, misalnya tidak melalui perang, tidak melalui manipulasi fakta danlain sebagainya. Tujuan dari sistem itu adalah terbentuknya nilai budaya tertentu dari manusia Indonesia, misalnya seperti yang diutarakan Koentjaraningrat. Sistem ini berjalan terus menerus tanpa henti, dan baru berhenti apabila sudah tidak ada lagi penyimpangan sama sekali. Contoh dari penyimpangan ialah keinginan untuk membangun dengan model pembangunan Jepang, yang merupakan pembangunan kapitalis yang diprakarsai oleh suatu negara totaliter.
Mengingat sangat beragamnya manusia Indonesia dan luas wilayah yang didiaminya, sistem pembangunan mental ini akan lebih efisien apabila penerapannya diturunkan menjadi beberapa bagian sistem sesuai dengan kebutuhan. Misalnya pembagian berdasarkan profesi atau propinsi. Jadi sistem-sistem yang lebih kecil membentuk sistem yang lebih besar dan akhirnya membentuk sebuah sistem pembangunan mental nasional. Fungsi dari feedback sangat penting bagi tercapainya efektivitas proses, dan membuat sistem yang dinamis progresif menjadi bertahap sehingga akomodatif terhadap perkembangan dinamika manusia Indonesia.
Mengenai sistem pembangunan mental adalah sesuatu yang ideal menurut saya. Tetapi saya juga mempunyai pemikiran lain yang saya rasa apabila dimasukkan dalam sistem pembangunan mental nasional akan dimuntahkan oleh norma Pancasila tadi. Suatu perubahan budaya akan lebih efektif dan berakselerasi tinggi apabila faktor-faktor ini terpenuhi, yaitu kontinuitas yang cukup, frekwensi penyusupan nilai-nilai (indoktrinasi) yang tinggi, kemudian kewenangan yang tinggi sehingga bisa mempengaruhi sistem-sistem lingkungan.
BAHAN DIAMBIL DARI: