TINJAUAN PERDAGANGAN BEBAS DI ASIA
PADA MASA KRISIS
Oleh Pico Seno

 

Krisis Asia yang bermula sejak pertengahan tahun 1997 yang lalu telah membuat para pengambil keputusan dan pakar untuk meninjau kembali kerangka perdagangan bebas Asia yang dirumuskan dalam kesepakatan-kesepakatan APEC dan AFTA. Krisis ini terbukti telah menyebabkan tertundanya berbagai pembicaraan mengenai perdagangan bebas dan operasionalnya.

Peninjauan kembali oleh para pengambil keputusan lebih cenderung ke arah restrukturisasi dari perekonomian negara dibandingkan mempersoalkan kesepakatan yang sudah dicapai. Hal ini bukan berarti sekedar masalah integritas diplomasi dari sebuah negara, melainkan dapat dilihat bahwa perdagangan bebas yang mengarah pada pasar bebas (regional) sudah dapat diterima sebagai fenomena masa kini yang terus berkembang ke arah integrasi pasar dunia.

Liberalisme perdagangan dan pasar bebas dinilai layak untuk diwujudkan karena fenomena globalisasi yang nyata terjadi menyebabkan benturan sistem perekonomian negara dengan sistem perekonomian global. Moment dari benturan tersebut adalah ketika perdagangan internasional mengalami hambatan dari sistem negara. Hambatan-hambatan ini kemudian disebut sebagai hambatan perdagangan.

Makalah ini berusaha menganalisis perubahan di Asia dalam konteks ekonomi dan hubungannya dengan usaha pembentukan kawasan/penciptaan perdagangan bebas. Makalah ini tidak akan membahas secara spesifik hal-hal yang menjadi kesepakatan dalam APEC maupun AFTA, tetapi lebih pada analisis perubahan, dan menelusuri lebih ke dalam lagi mengenai kebutuhan akan pasar bebas.

Pada bagian berikutnya akan dipaparkan analisis penulis mengenai benturan sistem dan antisipasi negara yang kemudian mengakibatkan krisis. Sebagai bagian terakhir, dan diharapkan menyentuh sisi aktual dari persepsi umum peserta diskusi, akan dibahas beberapa aspek yang berkaitan dengan perekonomian Indonesia.

 

Argumentasi dari perdagangan bebas

Istilah perdagangan bebas dapat diartikan secara sederhana sebagai perdagangan yang dilandasi mekanisme pasar murni, perdagangan dengan mekanisme pasar murni (berdasar pada permintaan dan penawaran) tanpa pengaruh-pengaruh non ekonomi dan pengaruh-pengaruh intervensi regulasi yang menyebabkan eksklusivisme. Perdagangan bebas juga harus bebas dari pengaruh politis dari negara dan hubungan antar negara. Perdagangan bebas juga dipahami searah dengan pasar bebas.

Pemikiran perdagangan bebas mulai dikembangkan ketika sistem perekonomian negara (keynesian) terlihat menjadi hambatan bagi terlaksananya perdagangan internasional dengan berdasar pada keunggulan komparatif yang menitikberatkan pada efisiensi produksi. Sistem perekonomian negara menjadi hambatan bagi perdagangan bebas ketika sebuah produk yang senyatanya lebih efisien produksinya menjadi tidak dapat masuk ke negara tertentu karena alasan di luar kerangka keunggulan komparatif. Hambatan tersebut diciptakan oleh negara tertentu dalam bentuk pemberian tarif baik bagi eksport maupun import, penetapan kuota, hambatan administratif, proteksi dan hambatan politis seperti embargo, diskriminasi dan lain sebagainya.

Alasan dari penetapan hambatan tersebut dibenarkan oleh sistem perekonomian negara yang menitikberatkan pada kemakmuran rakyatnya (harapan pada kemandirian sangat tinggi), tetapi seiring dengan perjalanan waktu, teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi mencapai kemajuan pesat begitu pula kebudayaan sehingga memungkinkan anak Adam di benua Amerika tertarik dan ingin memiliki mode baju terbaru dari Paris. Pada titik ini pemujaan terhadap kemandirian dipertanyakan. Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa kedekatan geografis sangat mempengaruhi intensitas dari kebutuhan complimentary tersebut, maka alternatif yang dimunculkan untuk menjawab problem di atas adalah pembentukan kawasan (regional) perdagangan bebas yang sebelumnya didahului dengan kerjasama produksi komplimen sesuai dengan prinsip keunggulan komparatif tadi. Tentu saja regulasi kawasan ini sangat perduli pada kesejahteraan rakyat kawasan ini, sehingga mirip dengan perekonomian negara tadi, hanya regulasi dibatasi pada point tertentu seperti penetapan tarif sebesar 0% atau 0, yang kemudian berkembang menjadi keseragaman tarif untuk importir asing dan lain sebagainya yang juga dikenal sebagai free market area. Karena kepedulian terhadap warga kawasan dan diskriminasi bagi non anggota maka kerangka tersebut lebih populer dengan istilah blok perdagangan. Eropa adalah pelopor dari kerangka ini. AFTA jelas merupakan kerjasama penciptaan blok perdagangan, sedangkan APEC mempunyai kerangka kerja lebih kompleks lagi yaitu meliputi pula kerjasama tehnik dan ekonomi.

 

Perekonomian negara vs perekonomian dunia

Struktur perekonomian dunia secara sederhana digambarkan terdiri dari perekonomian negara-negara, dilengkapi dengan organisasi dunia seperti IMF, UNCTAD, World Bank dan lain sebagainya. Fungsi-fungsi secara umum dipenuhi oleh negara-negara dan organisasi tadi (didominasi secara hukum), tetapi secara faktual berbagai fungsi dilaksanakan langsung oleh MNC dan organisasi transnasional lainnya. Rezim ekonomi saat ini adalah peralihan dari rezim proteksionisme ke arah rezim ekonomi liberal.

Sedang untuk perdagangan, harapan akan terlaksananya rezim perdagangan bebas di bawah WTO mendapat tantangan dari kepentingan negara-negara untuk mengamankan tingkat kesejahteraan warganya. Ironi dari tindakan negara-negara ini adalah penggunaan hambatan-hambatan yang sebenarnya harus dibiasakan untuk tidak digunakan lagi.

Beberapa metode stabilitas pembangunan ekonomi negara dan neraca pembayaran yang dianggap sebagai penyebab krisis Asia diungkapkan oleh Stanley Fischer, wakil direktur eksekutif IMF yaitu defisit neraca transaksi berjalan yang terlalu besar, pematokan nilai tukar mata uang yang sangat rendah (tidak sesuai dengan kebutuhan yang merupakan gejala globalisme), dan pengawasan keuangan yang sangat longgar. Hal-hal ini bukan merupokan hambatan perdagangan langsung, tetapi dapat dilihat sebagai usaha pengamanan kesejahteraan rakyat yang cenderung tidak efisien dan risky. Belum lagi hambatan-hambatan perdagangan secara langsung seperti tarif, proteksi, dan sebagainya.

Berbagai masala lain yang jelas menghambat adalah sistem mata uang, prosedur transaksi, ecolabeling, dan lainnya.

Sistem pertukaran yang didasarkan pada kurs mata uang jelas menghambat transaksi, terutama karena produk tersebut harus menanggung ketimpangan nilai mata uang. Nilai mata uang sebuah negara ditentukan oleh permintaan dan penawaran terhadap mata uang tersebut, hal inilah yang menyebabkan terjadinya pasar uang. Apabila mata uang tersebut dipatok terlalu rendah atau terlalu tinggi maka akan terjadi ketidakseimbangan neraca pembayaran atau pengontrolan yang sulit terhadap neraca pembayaran tersebut, dan semua ini diatur oleh negara.

Sebenarnya baik perekonomian negara maupun perekonomian pasar bebas sama-sama bertujuan memberi kesejahteraan pada manusia (warganya), tetapi terlihat dengan jelas benturan yang cenderung bersifat politis di mana negara sangat sulit melepaskan aspek kedaulatannya kepada rezim dunia.

Perekonomian negara dengan nasionalismenya melawan perekonomian dunia yang mendewakan efisiensi.

 

Kasus Indonesia

Kecenderungan Indonesia seperti negara berkembang lainnya, memupuk kekayaan dari berdagang, mirip merkantilisme.

Indonesia dalam pertemuan menteri ASEAN terakhir kali masih berupaya mempertahankan subsidi import beras dan sekaligus juga proteksi terhadap produk pertanian. Perjuangan itu berhasil dan skema CEPT AFTA tidak memasukkan produk pertanian.

Indonesia juga melakukan diskriminasi dan juga hambatan politis melalui program mobil nasional TIMOR, yang kemudian diprotes dan diangkat dalam perundingan di WTO.

Berbagai kebijakan tersebut sebenarnya berbasis pada keinginan pemerintah Indonesia untuk mempertahankan monopoli. Entah pemerintah yang kurang pinter atau memang ada hal lain seperti korupsi yang membuat mereka mempertahankan monopoli. Padahal tidak efisien.

Dalam GBHN 1998 dicantumkan ekonomi Pancasila sebagai acuan utama perekonomian Indonesia, perekonomian dengan moral, dan bukan 'perekonomian anjing makan anjing' (demikian ungkapan Ki Sarino, mantan Menteri P dan K mengenai ekonomi liberal tak terkendali). Juga penekanan kembali terhadap pasal 33 UUD 45. Analisis saya, pemerintah salah secara sengaja atau tidak dengan mengartikan bahwa pemerintah harus memonopoli untuk memenuhi hajat hidup orang banyak.

Orientasi pada stabilitas ekonomi first sejak orde baru dapat menjelaskan subsidi import beras yang bertahan sampai sekarang yang justru membuat petani bertahan taraf hidupnya.

Fenomena paling menarik dari Indonesia yang berkaitan dengan liberalisasi perdagangan adalah ketika muncul seruan nasionalisme disusul dengan berbagai gerakan cinta rupiah dan produksi dalam negeri, dan yang paling lucu terjadi ketika pemerintah menyatakan bahwa kesepakatan dengan IMF bertentangan dengan Pancasila dan UUD'45, bahwa kesepakatan itu tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia.

Jelas sekali bahwa Indonesia bersikap mendua dan hal tersebut sama sekali tidak memberikan keuntungan apa-apa pada rakyatnya.

 

Kesimpulan

Sistem perekonomian negara jelas hanya berfungsi untuk mensejahterakan warganya, dan tidak menjawab tantangan global. Jelas pula terlihat bahwa perekonomian negara pada saat ini justru membebani warganya dengan cost transaksi internasional yang tidak efisien.

Penciptaan perdagangan bebas dan pasar bebas tidak hanya mendapat hambatan dari perekonomian negara berkembang saja, melainkan juga dari seluruh bentuk perekonomian negara konvensional. Kekhawatiran negara terhadap pelaksanaan pasar bebas adalah terkikisnya kedaulatan negara hingga titik minimum.

Informasi sebagai sarana penilaian efisiensi produk harus terdistribusi secara baik dan global sebagai syarat perdagangan bebas dengan kerangka keunggulan komparatif.

Krisis Asia ini dapat pula dilihat sebagai peluang baik untuk melaksanakn prinsip-prinsip perdagangan bebas

 

Bandung, 22 April 1998
 
Sumber