BAB I
PENDAHULUAN

 

Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terjadi perbedaan pendapat yang disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain perbedaan persepsi dan perbedaan kepentingan. Perbedaan pendapat ini dapat mengarah kepada pertentangan yang bisa mengakibatkan banyak hal. antara lain timbulnya kekerasan.

Begitu pula dalam kehidupan masyarakat internasional, selalu ada pertentangan antara negara-bangsa yang disebabkan oleh perbedaan. Perbedaan dalam tingkat negara bangsa ini dapat menimbulkan kekerasan yang lazim disebut perang.

Keadaan perang yang pernah terjadi adalah sangat merugikan banyak pihak, terutama rakyat kecil yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian tetapi menjadi korban, karena berbagai faktor mereka berada dalam situasi tersebut. Situasi perang juga sangat mempengaruhi berbagai sektor operasional di kawasan yang sedang dilanda perang. Akibatnya banyak aspek kehidupan terganggu dan terhambat perkembangannya. Hal ini selain diperhatikan oleh pihak yang terlibat dan yang menjadi korban, juga oleh masyarakat internasional.

Salah satu upaya untuk mencari jalan keluarnya adalah dibentuknya organisasi internasional sebagai jawaban. Organisasi Internasional berguna untuk mencapai kompromi dan meningkatkan kesejahteraan serta memecahkan pertikaian yang timbul.

Sebab dengan itu L. Leonard dalam bukunya International Organization mengatakan,

"Sovereign States recognized the need for more sustained methods of collaboration on numerous problems. State established International Organization to meet these spesific needs".

 

Organisasi internasional yang permanen dalam menjalankan fungsi-fungsinya adalah Persatuan Bangsa Bangsa, yang didirikan pada tanggal 26 Juni 1945 oleh 50 negara.

Dalam deklarasi pendirian Persatuan Bangsa Bangsa tersebut tercantum tujuan utama organisasi ini :

    1. Memelihara perdamaian dan keamanan internasional
    2. Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian universal;
    3. Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan-persoalan internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan, atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama; dan
    4. Menjadi pusat bagi penyelarasan segala tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama tersebut.
Dalam usaha pencapaian tujuan-tujuan tersebut dibutuhkan lembaga-lembaga utama yang dapat berfungsi sebagai sarana. Salah satunya adalah Dewan Keamanan yang mempunyai tanggung jawab utama memelihara perdamaian dan keamanan internasional.

Berdasarkan Piagam, fungsi dan kekuasaan Dewan Keamanan adalah :

Dewan Keamanan dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkannya berfungsi terus menerus, dan seorang wakil dari anggotanya harus hadir sepanjang waktu di Markas Besar Perserikatan Bangsa Bangsa. Apabila keluhan terhadap perdamaian disampaikan kepadanya, maka tindakan pertama Dewan Keamanan biasanya adalah menganjurkan pihak-pihak yang terlibat untuk mencari permufakatan melalui cara damai. Apabila pertikaian menyebabkan pertempuran, maka kepedulian Dewan yang utama adalah dengan secepat mungkin menghentikannya.

Sejak berdirinya Perserikatan Bangsa Bangsa, Dewan Keamanan telah banyak sekali mengeluarkan ketentuan mengenai gencatan senjata, sanksi-sanksi ekonomi, dan aturan-aturan lainnya demi mengupayakan situasi damai. Langkah-langkah menuju damai juga dirancang oleh Dewan, untuk keperluan tersebut Dewan juga mengirimkan pasukan pengawas perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa yang diharapkan dapat mengurangi ketegangan di wilayah-wilayah yang berada dalam keadaan genting, melerai pasukan-pasukan yang saling berhadapan dan menciptakan keadaan yang tenang di mana penyelesaian damai bisa diupayakan.

Berakhirnya perang dingin tahun 1989, menyebabkan berubahnya format sistem internasional. Perubahan tatanan ini mengangkat peluang baru bagi penjajaran kembali keamanan internasional, juga untuk menata kembali agenda politik domestik. Berkaitan dengan Tata Dunia Baru, Edith S. Klein mengatakan lebih lanjut,

 

"On a more realistic level, however, the New World Order in fact has come to mean the break down of nation-states, and the fragmentation of social communities into smaller and smaller groups. It is an order in which minorities are pitted against majorities, and it is one that calls into question established political processes and institutions."

 

Kemudian dapat didukung oleh pendapat Roy C. Macridis, "It is an order which challenges western cultural values of modernization, tolerance, and homogenization notions of cultural separatness and closed, ethnically exclusive communities."

 

Kecenderungan yang terjadi di atas juga terjadi pula pada Federasi Yugoslavia yang terdiri dari empat republik dan dua propinsi otonom, yaitu: Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, Masedonia, Montenegro, Serbia, dan Slovenia. Walaupun bibitnya sudah ada, dan dapat ditelusuri melalui studi sejarah, Federasi Yugoslavia baru dapat dikatakan pecah pada bulan Juni 1991. Ditandai dengan mundurnya Kroasia dan Slovenia dari Federasi Yugoslavia dan menyatakan kemerdekaannya (declare themselves independent). Segera setelah pernyataan kemerdekaan itu, pemerintah Federal unjuk kekuatan sehingga terjadi baku tembak di Slovenia. Pertikaian di Kroasia juga terjadi segera setelah deklarasi kemerdekaannya, ketika orang-orang Serbia yang tinggal di Kroasia didukung oleh Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) menentang deklarasi kemerdekaan. Upaya yang diperantarai oleh Masyarakat Eropa untuk memberlakukan gencatan senjata terbukti gagal dan pertikaian senjata meletus.

Pada tanggal satu Maret 1992, Majelis Republik Bosnia dan Herzegovina mengadakan referendum untuk dukungan terhadap deklarasi kemerdekaan (lepas dari Federasi). Hasilnya, Muslim Bosnia dan etnis Kroasia di Bosnia mendukung kemerdekaan Republik Bosnia dan Herzegovina, tetapi menyebabkan anggota majelis yang etnis Serbia di Bosnia melakukan walk out dan menegaskan pemisahan.

Republik Serbia secara keras mengecam deklarasi-deklarasi kemerdekaan itu dan sangat memperhatikan nasib warga Serbia di Kroasia dan warga Serbia di Bosnia dan Herzegovina.

Kemudian kemerdekaan Bosnia-Herzegovina, Kroasia, dan Slovenia diakui oleh Amerika Serikat pada tanggal 7 April 1992. Sedangkan Perserikatan Bangsa Bangsa baru mengakui kemerdekaan tiga negara tersebut tanggal 22 Mei 1992.

Keterlibatan Perserikatan Bangsa Bangsa di bekas Yugoslavia dimulai pada tanggal 25 September 1991, ketika Dewan Keamanan mengadakan pertemuan tingkat menteri, yang kemudian dengan suara bulat menghasilkan resolusi 713 (1991) menyerukan pada seluruh negara untuk segera memberlakukan embargo umum dan komplit terhadap pasokan senjata dan militer kepada Yugoslavia.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa menunjuk Mr. Cyrus Vance, mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, sebagai utusan khususnya untuk Yugoslavia pada 8 Oktober 1991. Pada tanggal 23 November 1991, Mr. Vance menyelenggarakan pertemuan di Jenewa yang dihadiri oleh Presiden Serbia, Presiden Kroasia, Menteri Pertahanan Yugoslavia, dan Lord Carrington, Ketua Konferensi Masyarakat Eropa mengenai Yugoslavia. Pihak-pihak yang bertikai mencapai kesepakatan mengenai gencatan senjata dengan segera dan menunjukkan harapan untuk melihat pembentukan sebuah operasi penjaga perdamaian PBB. Ketika kemajuan sudah tercapai pada masalah-masalah lain, kesepakatan gencatan senjata dilanggar hampir dengan segera. Melalui resolusi 721 (1991), Dewan Keamanan menyokong pernyataan Utusan Khusus kepada pihak-pihak yang bertikai bahwa penyebaran operasi penjaga perdamaian PBB tak dapat dipertimbangkan tanpa ketaatan penuh seluruh pihak terhadap kesepakatan Jenewa.

Melalui resolusi 724 (1991) bertanggal 15 Desember, Dewan Keamanan menyetujui laporan oleh Sekretaris Jenderal yang berisi sebuah rencana untuk operasi penjaga perdamaian yang memungkinkan. Sebuah grup kecil terdiri dari perwira militer, polisi sipil, dan staf Perserikatan Bangsa Bangsa mengunjungi kawasan itu, untuk mempersiapkan implementasi dari rencana tersebut. Dengan persetujuan Dewan Keamanan, Sekretaris Jenderal Boutros Boutros Ghali kemudian mengirim sebuah grup terdiri dari 50 perwira penghubung ke kawasan tersebut, dengan tugas menggunakan keterampilannya untuk mempromosikan pemeliharaan gencatan senjata dengan cara memfasilitasi komunikasi antara pihak-pihak yang bertikai dan dengan cara menolong mereka memecahkan kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul.

Pada tanggal 15 Februari 1992, meskipun terjadi perbedaan pendapat mengenai rencana Perserikatan Bangsa Bangsa, Sekretaris Jenderal merekomendasi Dewan Keamanan untuk membentuk Pasukan Perlindungan PBB (UNPROFOR; United Nations Protection Force). Dalam pandangannya, bahaya dari gagalnya operasi Penjaga Perdamaian PBB karena tidak ada kerjasama dari pihak-pihak yang bertikai adalah tidak lebih menyedihkan dibanding bahaya dari pengirimannya yang terlambat yang akan mengarah pada gagalnya gencatan senjata dan pada kerusuhan baru.

Pada tanggal 21 Februari, Dewan Keamanan melalui resolusi 743 (1992), membentuk UNPROFOR untuk periode 12 bulan sebagai rencana sementara untuk menciptakan kondisi damai dan keamanan yang dibutuhkan untuk bernegosiasi mengenai penyelesaian dari krisis dalam kerangka kerja Konferensi Masyarakat Eropa mengenai Yugoslavia. Dewan Keamanan mensahkan pengiriman penuh Pasukan melalui resolusi 749 (1992) bertanggal 7 April 1992.

UNPROFOR pertama kali ditugaskan di Kroasia, kemudian karena setelah pembentukan UNPROFOR, di Bosnia Herzegovina juga terjadi pertikaian senjata maka mandatnyapun diperluas hingga Bosnia Herzegovina. Kemudian diperluas lagi hingga mencakup bekas Yugoslavia Republik Macedonia.

Situasi yang sangat mengkhawatirkan terjadi di Bosnia Herzegovina, menyusul pengakuan kemerdekaan tiga negara baru bekas Yugoslavia oleh Amerika Serikat. Sejak saat itu militer disiagakan. Secara resmi angkatan bersenjata bekas Yugoslavia kembali menjadi angkatan bersenjata Republik Federasi Yugoslavia yang baru yang dideklarasikan oleh Serbia dan Montenegro pada tanggal 27 April 1992. Dan pada kenyataannya sebagian besar dari tentara tersebut masih berlokasi di belakang Bosnia dan sebagian besar dari pasukan tersebut bersenjata berat. Pada tanggal 13 Mei, sekitar 35.000-70.000 tentara Serbia Bosnia (Bosnian Serbs) dibentuk di bawah kepemimpinan Jenderal Ratko Mladic, mantan komandan distrik kedua, angkatan bersenjata Yugoslavia di Sarajevo. Dilaporkan, para perwira Yugoslavia diberi pilihan tetap bersama federasi atau terus bertempur dalam pasukan Mladic.

Yang paling patut diperhatikan adalah praktek pembersihan etnis oleh etnis Serbia terhadap etnis Bosnia, yang kemudian mengundang kemarahan masyarakat internasional, terutama dari kalangan muslim. Sampai pada suatu titik ditandai dengan pertemuan Organisasi Konferensi Islam, yang menghasilkan seruan untuk membantu etnis Bosnia dalam bentuk pasukan sukarelawan maupun material berupa senjata.

Dengan memperhatikan pertikaian antara etnis Bosnia dengan etnis Serbia yang didukung oleh pemerintah Serbia dan pemerintah Federal, yang menjadi perhatian khusus bagi masyarakat dunia sehingga Dewan Keamanan juga menyebarkan pasukannya ke wilayah Bosnia dan Herzegovina. Kemudian tugas untuk UNPROFOR telah ditentukan dan krisis perdamaian masih berlanjut hingga tahun 1995, maka peneliti memberi judul penelitian ini:

"Peranan UNPROFOR Dalam Proses Perdamaian Di Bosnia dan Herzegovina (1992-1995)."

 

 

Identifikasi Masalah

Pembatasan Masalah

Untuk mencapai efektifitas, penelitian ini dibagi menjadi tiga batasan masalah. Yaitu, yang pertama adalah proses penugasan UNPROFOR oleh Dewan Keamanan PBB di wilayah Bosnia Herzegovina. Kedua, Tugas yang diemban dan dilaksanakan UNPROFOR di wilayah Bosnia Herzegovina. Ketiga, poses perdamaian yang terjadi di wilayah Bosnia Herzegovina dikaitkan dengan keterlibatan UNPROFOR, yang berarti juga pendeskripsian hambatan-hambatan yang muncul.

UNPROFOR mendapat mandat pertama kali hanya untuk wilayah Kroasia, kemudian dipertimbangkan setelah demiliterisasi United Nations Protection Areas (UNPAs), untuk mengirimkan 100 pengamat militer UNPROFOR ke bagian-bagian tertentu di wilayah Bosnia Herzegovina. Ketika keadaan terlihat makin memburuk, Sekretaris Jenderal PBB memutuskan untuk mempercepat penyebaran pasukan dengan menempatkan 40 orang pengamat militer di Mostar, region dari republik tersebut pada tanggal 30 April 1992. Dalam bulan Mei, walaupun seluruh usaha-usaha diplomatik oleh masyarakat Eropa, perwakilan Sekretaris Jenderal, dan UNPROFOR untuk menegosiasikan suatu gencatan senjata yang abadi, konflik antara Muslim Bosnia dan Kroasia Bosnia di satu pihak dan Serbia Bosnia di lain pihak justru makin menghebat. Pada tanggal 14 Mei, ketika ancaman terhadap keselamatan jiwa mereka sudah tidak dapat ditolerir lagi, para pengamat ditarik dari kawasan tersebut dan ditempatkan kembali di UNPAs, di Kroasia. Sekitar dua per tiga dari personel markas UNPROFOR juga ditarik dari Sarajevo pada tanggal 16 dan 17 Mei, meninggalkan sekitar 100 personel militer dan staf sipil yang menyumbangkan jasanya untuk mempromosikan gencatan senjata lokal dan aktivitas kemanusiaan.

Dari paparan di atas, dapat dilihat gambaran mengenai sumber-sumber proses penugasan UNPROFOR di Bosnia dan Herzegovina. UNPROFOR bertugas sesuai mandat yang diberikan oleh Dewan Keamanan PBB, yang sebelumnya bersidang untuk mencapai resolusi. Sensitivitas dari resolusi Dewan Keamanan mengenai UNPROFOR sangat bergantung pada laporan-laporan Sekretaris Jenderal PBB, yang mendapat masukan dari berbagai macam sumber.

Karakteristik dari UNPROFOR sendiri juga menjadi tergantung pada setiap resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan yang berkaitan langsung dengan UNPROFOR, karena fungsi umum dan mandatnya. Mengenai besar, kekuatan, dan strategi umum dari UNPROFOR juga ditentukan oleh Dewan Keamanan. Walaupun demikian UNPROFOR cukup representatif bagi "pasukan dunia" untuk perdamaian karena terbetuk dari pasukan dari berbagai bangsa.

Tugas utama dari UNPROFOR adalah menciptakan kondisi damai dan aman yang memungkinkan negosiasi dari penyelesaian keseluruhan krisis Yugoslavia. Selama umurnya UNPROFOR mendapat beberapa kali mandat. Pertama kali mandatnya hanya di wilayah Kroasia, kemudian diperluas hingga di Bosnia Herzegovina, yang berikutnya diperluas lagi hingga Republik Macedonia bekas Yugoslavia.

Tugas UNPROFOR di Bosnia Herzegovina, untuk pertama kali sesuai dengan tugas umumnya di kawasan bekas Yugoslavia, kemudian karena situasi di Bosnia cenderung memburuk dan pelanggaran terhadap aspek-aspek kemanusiaan menyebabkan tugasnya dispesifikan. Tugas-tugas itu antara lain :

Proses perdamaian yang terjadi di Bosnia masih berupa embrio pada periode 1991 hingga Maret 1995, dan tidak menunjukkan kemajuan kondisi yang berarti, karena hasil yang paling maksimal dari situasi damai yang telah diupayakan oleh berbagai pihak adalah ditandatanganinya gencatan senjata, yang kemudian dilanggar dalam beberapa hari. Baru pada akhir 1995 mulai ada kemajuan yang berarti. Kemajuan ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu, pertama, koalisi pemerintah Bosnia dan pemerintah Kroasia yang didukung oleh angkatan bersenjata Kroasia melakukan gerakan ofensif yang efektif mendesak pasukan etnis Serbia, dan merubah situasi militer di kawasan tersebut. Kedua, baik UNPROFOR dan Nato menggunakan kekuatannya untuk melawan etnis Serbia Bosnia, terutama dalam kerangka Pasukan Reaksi Cepat PBB (United Nations Rapid Reaction Force) segera setelah jatuhnya "Safe Areas", yaitu Sebrenica dan Zepa, pada bulan Juli. Ketiga, inisiatif Amerika Serikat dalam usaha mencapai kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh para pemimpin Bosnia Herzegovina, Kroasia dan Republik Federal Yugoslavia.

Tidak semua hasil dari usaha menciptakan kondisi damai oleh UNPROFOR berakibat pada situasi damai. Ketika UNPROFOR mulai menggunakan kekuatannya, muncul suasana permusuhan baru.

Perumusan Masalah

Melihat keterkaitan antara tugas UNPROFOR dengan proses perdamaian yang terjadi di Bosnia Herzegovina pada tahun 1991-1995, di mana pihak-pihak lain juga memberikan kontribusi, maka perlu dipilah demi memastikan efektifitas dari UNPROFOR.

Beranjak dari pemaparan permasalahan di atas, peneliti berusaha merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Permasalahan tersebut adalah :

Upaya-upaya United Nations Protection Force apakah yang berperan dalam proses perdamaian di Bosnia Herzegovina pada tahun 1992-1995?

 

 

Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian

Pasukan Penjaga Perdamaian PBB telah banyak disorot oleh masyarakat internasional karena kesuksesan dan kegagalannya. Kemudian dijadikan bahan perdebatan diantara para praktisi dan ilmuwan mengenai kemampuannya mengenmban tugas memelihara situasi damai di lapangan yang berbeda-beda karakternya. Dalam penelitian ini dilihat efektifitasnya pada krisis Bosnia Herzegovina yang mempunyai karakter konflik etnis.

Pertama, tujuan penelitian ini untuk menelusuri seluruh aspek dari upaya UNPROFOR apa saja yang berperan menunjang terciptanya perdamaian di wilayah Bosnia Herzegovina secara akurat.

Kedua, melalui penelitian ini diharapkan dapat menerangkan hambatan-hambatan serta dukungan-dukungan yang diciptakan situasi internal dan eksternal pada pelaksanaan tugas UNPROFOR di wilayah Bosnia Herzegovina.

Lebih lanjut penelitian ini juga dapat memberikan pengenalan mengenai UNPROFOR pada khususnya, Pasukan Penjaga Perdamaian PBB dan upaya PBB melalui Dewan Keamanan untuk menciptakan situasi damai di berbagai belahan bumi pada umumnya.

 

Kegunaan Penelitian

Pertama penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan informasi bagi para peneliti pada khususnya dan pembaca pada umumnya, terutama bagi mereka yang tertarik pada masalah-masalah perdamaian dan upaya-upaya yang dilakukan oleh organisasi internasional melalui pasukan perdamaian.

Kedua, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pembaca ataupun peneliti yang menaruh minat dalam pemahaman terhadap fenomena-fenomena perdamaian yang tengah berlangsung saat itu.

 

 

 

 

 

 

Kerangka Pemikiran

Dalam sub-bab berikut ini akan diuraikan suatu kerangka logika yang digunakan sebagai alat analisis untuk memahami penelitian. Dalam upaya penguraian kerangka logika sebagai dasar pemikiran mencakup segenap penjabaran yang dirasa perlu dan relevan untuk memahami penelitian dengan menggunakan konsep-konsep dan teori yang berhubungan.

Kenyataan yang terjadi, setiap saat selalu ada perang dan damai di berbagai belahan dunia. Selesai yang satu muncul yang berikutnya di belahan dunia yang lain. Menurut Thomas Hobbes mengenai hal tersebut :

"There is always war of every one against every one. Hereby its manifest, that during the time men live without a common power to keep them all in awe, they are in that condition which is called war, and such a war, is of every man against every man. For war, consisteth not in battle only, or the act of fighting; but in a tract of time wherein the will to contend by battle is sufficiently known: and therefore the notion of time, is to be considered in the nature of war; as it is in the nature of weather. For as the nature as foul wether, lieth not in shower or two of rain; but in an inclination thereto of many days together: so the nature of war consisteth not in actual fighting; but in the known disposition thereto, during all the time thereis no assurance to contrary. All other time is peace."

 

Damai menurut glossary dari buku International Theory oleh Kauppi, adalah suatu situasi di mana tidak terjadi perang, atau situasi aman, hubungan harmonis antar bangsa.

Sedangkan Kenneth Waltz mengkaitkan dalam kerangka kausal sistematis bahwa situasi perang dan damai terjadi karena kondisi anarki yang terjadi pada sistem internasional sangat memungkinkan untuk terjadinya perang, jadi konteks institusional global harus membentuk struktur yang mengurangi kemungkinan terjadinya perang. Dapat disimpulkan sebagai salah satu institusi global yang ada saat ini adalah PBB, yang merupakan organisasi administrasi internasional, maka pembebanan tanggung jawab terhadap struktur internasional tersebut juga ada pada PBB.

Menurut kamus hubungan internasional, organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai "suatu pengaturan formal yang melintasi batas-batas nasional dan menciptakan suatu kondisi bagi pembentukkan perangkat institusional guna mendukung kerjasama diantara anggota-anggotannya di bidang keamanan, ekonomi, sosial, dan bidang-bidang lainnya.

Kemudian dalam melaksanakan tugasnya sebagai suprastruktur perdamaian, PBB antara lain menggunakan sub lembaga yang bertugas khusus memelihara perdamaian, terutama dalam arti yang negatif atau minimal, yaitu "the absence of violence". Sub lembaga tersebut adalah Dewan Keamanan PBB.

Meminjam pemahaman damai oleh Johan Galtung untuk memenuhi pemahaman konseptual:

"What we intend only that the terms ‘peace’ and ‘violence’ be linked to each other such that ‘peace’ can be regarded as ‘absence of violence’."

 

Dalam bagian lain Johan Galtung melihat bahwa kekerasan mempunyai dua sisi yaitu ‘personal violence’ dan ‘struktural violence’, di mana masing-masing mempunyai karakter yang berbeda yaitu aktual dan potensial. Karena kekerasan berhubungan langsung dengan usaha menuju damai, maka pendekatan terhadap ‘peace’ juga mempunyai dua sisi, yaitu, ‘negative peace’ dan ‘positive peace’.

Sementara PBB juga mempunyai kerangka tersendiri untuk perdamaian (lebih pada resolusi konflik yang bernuansa kekerasan), yang diajukan oleh Butros-Butros Ghali dalam An Agenda For Peace, yang cenderung lebih empiris. Secara umum kerangka ini merupakan prosedur untuk mencapai perdamaian dalam situasi konflik, yaitu, pelaksanaan ‘preventive diplomacy’, ‘peacemaking’, dan ‘peacekeeping"

Dewan Keamanan PBB dalam operasionalnya di setiap kawasan yang tidak dalam situasi damai, mengadakan kegiatan dengan menggunakan pasukan khusus, yang lazim disebut "peacekeeping operation dan peacekeeping force". Pada umumnya dua term ini didefinisikan dalam teori hubungan internasional dan mempunyai karakter :

"Peacekeeping suplements the self-help system of international politics with an an element of disinterested outside assistance that can help the parties to a conflict disengage themselves from it. Peacekeeping missions may involve, in ascending order of complexity and intrusiveness: uncovering the facts of a conflict; monitoring of borderor buffer zone after armistice agreements have been signed; verification of agreed-upon force disengagements or withdrawals; supervision of disarming and demobilization of local forces; maintenance of security conditions essential to the conduct of elections; and even the temporary, transitional administration of countries."

 

David A Charters menambahkan mengenai definisi term tersebut: "There always been a gap between the dictionary definition of ‘peacekeeping’ and the real-world activity which has come to be called by that name. It may be supposed that ‘keeping’ referred to a very positive and if necessarry, forceful activity. Accordingly, peacekeeping might be thought to mean tough, directive action in support of peace, or at least a preparedness so to act. In an international context this would imply a readiness to hold states apart, and perhaps to obtain peace by force."

 

Dalam penelitian ini akan dipaparkan mengenai peran sebuah pasukan perdamaian. Mengenai konsep peran yang merupakan konsekuensi logis dari keberadaan suatu aktor dalam masyarakat dapat kita pinjam dari definisi Paul B. Horton dan Chester Hunt:

"Peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai status. Sedangkan status adalah seperangkat hak dan kewajiban. Aktor adalah pelaku dari perangkat hak-hak dan kewajiban tersebut."

Penulis mengasumsikan bahwa Peacekeeping Force merupakan aktor dalam situasi konflik.

Perang terjadi di Bosnia Herzegovina, walaupun pada awal konflik terbuka, masing-masing pihak yang bertikai belum mendapat pengakuan dari masyarakat internasional sebagai negara. Karena dalam Webster’s Dictionary, perang (war) didefinisikan sebagai konflik atau permusuhan bersenjata antara negara atau bangsa yang dinyatakan secara terbuka.

Mengenai tujuan dari perang, Clausewitz berpendapat:

"It is an act of violence intended to compel our opponent fulfill our will....War is not merely an act of policy but a true political instrument, a continuation of political intercourse, carried on with other means."

 

Proses perdamaian di Bosnia Herzegovina juga perlu diperhatikan prosedur yang dirancang oleh PBB dan pihak-pihak lain. Menurut K. J. Holsti, pihak-pihak yang bertikai berbagi tujuan berikut untuk mencapai perdamaian: "Maintenance of sovereign independence; security; economic and social welfare; autonomy, meaning the enhancement or maintenance of decision making latitude and freedom on problems both domestic and foreign policy."

 

Pada akhirnya pelaksanaan mandat yang diberikan kepada pasukan penjaga perdamaian harus dievaluasi. Dengan kerangka William J. Durch, dimunculkan tiga hipotesis: Sedangkan Bruce R Pirnie dan William E Simmon memberikan kerangka evaluasi pasukan penjaga perdamaian tersendiri: Sukses berarti memenuhi apa yang diharapkan dari mandat. Apabila pasukan perdamaian tidak memenuhi mandat, dengan sebab ketidakmampuan atau karena pihak-pihak yang bertikai menolak untuk bekerja sama, maka operasi harus dinyatakan gagal, apapun yang terjadi dalam konflik.

 

 

 

Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan suatu metode tertentu, yaitu metode kulitatif. Bagi Bogdan dan Taylor, metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam kalimat lain, sebagaimana dikatakan oleh Kirk dam Miller, metode ini bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dengan orang-orang tersebut dalam bahasa dan peristilahannya. Dengan demikian, sesuai kedua pengertian tersebut di atas, metode demikian dapat dianggap relevan untuk dipergunakan dalam menyingkap masalah penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

Selanjutnya, jenis penelitian yang dipergunakan oleh penulis adalah penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas pemikiran pada masa sekarang. Penelitian sedemikian rupa bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

Penelitian ini merupakan pembahasan terhadap kejadian-kejadian yang telah berlalu. Oleh karena itu teknik penelitian yang akan dipergunakan adalah ex-post facto. Yaitu, mengumpulkan data-data mengenai kejadian yang telah selesai berlangsung. Hal yang ditunjang oleh langkah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi dokumen, dengan menggunakan media massa, buku-buku, dan majalah-majalah. Pada akhirnya studi dokumen ini dilakukan dengan mempergunakan semua bahan yang tersedia untuk membantu upaya penganalisisan masalah yang diteliti.

 
DAFTAR PUSTAKA

 

 

  1. Alberts, David S. dan Richard E Hayes, Command Arrangements for Peace Operations, National Defense University Press, 1995.
  2. Charters, David A, Peacekeeping And Challenge of Civil Conflict Resolution, University of New Brunswick, 1994.
  3. Clark, Dick, The United Nations, Peacekeeping, And U.S. Policy In The Post- Cold War World, The Aspen Institute, Queenstown Maryland, 1994.
  4. Durch, William J, The Evolution of UN Peacekeeping, The Henry Stimson Center, 1993.
  5. Ghali, Boutros Boutros, An Agenda for Peace, United Nations, New York, 1992.
  6. Hill, Stephen M. dan Shahin P. Malik, Peacekeeping and the United Nations, Dartmouth Publishing Company, 1996
  7. Holsti, K. J., Peace And War: Armed Conflicts And International Order 1648-1989, Cambridge University Press, Cambridge.
  8. Horton, Paul B. dan Chester L Hunt, Sosiologi, edisi terjemahan, Erlangga, 1984.
  9. Kartasasmita, Drs. Koesnadi, Organisasi Administrasi Internasional, Unpad Press, 1977.
  10. Kauppi, Mark V. dan Paul R. Viotti, International Relations Theory, Macmillan Publishing Company, New York, 1990.
  11. Moelong, Dr. Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdya Karya, Bandung, 1996.
  12. PBB, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1993.
  13. Pirnie, Bruce dan William Simmons, Soldier of Peace, RAND, Santa Monica, 1996.
  14. Plano, Jack C. dan Roy Olton, The International Relations Dictionary, 1979.
  15. Pusat Informasi Umum PBB, Pengetahuan Dasar Mengenai PBB, 1995.
  16. Time International Magazine, September 1992.
  17. United Nations Department of Public Information, Blue Helmet, New York, 1996.
  18. United Nations Department of Public Information, Information Notes: Situation on Former Yugoslavia, New York, 1994.
  19. United Nations Department of Public Information, Information Notes: Situation on Former Yugoslavia, New York, 1996.
  20. United Nations Department of Public Information, United Nations Peacekeeping, New York, 1996.
  21. Vasques, John, The War Puzzle, Cambridge Press, 1993.